Text
Senja Di Jakarta
Saimun mengencangkan ikat pinggangnya. Perutnya sudah mulai lapar. Belum ada isinya apaapa. Dan hari masih pagi. Hujan gerimis yang turun sejak dinihari membuat perut tambah lapar. Saimun menyalahkan hujan. Dengan kakinya yang telanjang dan penuh kotoran lumpur, kotoran dan baksil-baksil melekat ke kaki yang telanjang itu ditolakkannya keranjang penuh sampah dari puncak timbunan sampah, berguling-guling ke bawah, berhenti tertahan oleh dinding bambu koyak-koyak sebuah pondok kecil amat buruknya, amat koyaknya, amat tirisnya dalam hujan gerimis. Seorang perempuan menjengukkan kepala ke luar berteriak dengan suara parau, "Kira-kira dikit dong, mana matamu?”
Saimun terkejut sebentar, memandang dan menatap perempuan itu. Dia tertawa kurang ajar tidak mengandung kemarahan atau kejengkelan karena biasa saja dia tertawa demikian dalam hatinya sebentar tergores gairah melihat dada perempuan dalam pondok itu, yang dapat dilihat melalui celah-celah baju yang usang dan koyak.
F00424/P/B/85 | F/LUB/s/c2 | My Library | Tersedia |
F00120/P/B/85 | F/LUB/s/c1 | My Library | Tersedia |
F00149/P/B/85 | F/LUB/s/c3 | My Library | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain